Kamu datang membawa banyak harapan,
membawa banyak janji lewat bisikan. Kau hangatkan hatiku dengan yang kau sebut
cinta. Ya mungkin kau dan mereka menyebutnya cinta. Aku bahkan tidak tahu
apa-apa tentang cinta. Jatuh cintapun aku belum berani.
Lalu sosokmu masuk kedalam hidupku, tanpa permisi atau meminta
izin terlebih dahulu. Memberi warna-warni dalam hidup. Semua kulalui tanpa pernah tau apa akhir dari cerita ini.
***
Namaku Adelia , kalian bisa panggil
aku Adel. Aku bukan perempuan dengan gaya hidup glamour yang setiap jengkal di
tubuhku di penuhi barag-barang bermerek mahal seperti Gucci, Furla atau apapun
itu. Aku hanya perempuan biasa yang bahkan
tidak menarik dari segi fisik maupun wajah. Hanya satu yang selalu di
banggakan oleh orangtuaku terhadapku. Kemampuan beladiriku dan kemandirianku.
Ya, olahraga beladiri yang aku sukai
sejak aku duduk di bangku SMP dan olahraga ini yang mempertemukan aku dengan
sesosok pangeran yang dulu aku impikan.
percayalah semua
semakin terasa salah setelah kita saling mengenal, oh bukan lebih tepatnya
semenjak aku mengenalmu. Entahlah sebenarnya aku tidak pernah merencanakan
semua ini, tapi semuanya berjalan begitu seimbang tanpa sebuah rencana.
Mungkinkah ini bagian dari takdir? Aku tidak tahu, dan tidak menginginkan untuk
tahu.
Semua
berawal dari sini, beberapa tahun yang lalu saat aku berniat melupakan kata
cinta yang kata orang itu adalah kata tersakral di seluruh jagat semesta ini,
pangeran itu datang. Dan aku bahkan belum mengerti benar apa arti kata itu.
“aku menyukaimu, maukah kau jadi pacarku?” kata itu, ya kata itu yang nyaris
membuat duniaku semakin terbalik, seorang pangeran yang aku kagumi datang
menyatakan perasaannya kepadaku, tanpa rasa malu dan ah, aku tidak bisa
membayangkannya lagi. Dan aku lantas menerimanya begitu saja.
Banyak janji yang di ungkapkan bahkan
membuat kepalaku penuh dan tidak bisa mengingat dengan jelas janji itu. Satu yang
ku ingat, sebuah kata yang sakral diantara kita, kata yang selalu kau ungkapkan
setiap kita akan berpisah di ujung senja itu “jaga mata, jaga hati ya”. Ya kata
itu yang selalu melekat dengan erat di kepalaku, bukan, bukan hanya di kepala
melainkan di hati, jantung dan seluruh nafasku. “ya, aku kan selalu menjaganya
untukmu”.
Apa kau juga mengingat kata ini? Kata
yang selalu kita ucapkan saat kita akan berpisah, pulang ke peraduan
masing-masing. Ah, aku selalu mengingatnya, bahkan saat kita harus melalui
masa-masa long distance.
Aku mempercayaimu melebihi apapun,
jangan tanya mengapa. Hanya ada satu jawabannya “karna, aku mencintaimu, sepenuh
hatiku. Dan aku percaya itu”
Bodohkah aku, mempercayai pangeran
itu? Pangeran yang selalu aku impikan sejak dulu. Lalu kau sendiri yang
merusaknya, merusaknya dengan sosok masa lalu yang diam-diam kau selipkan di
antara kita. Aku kagum saat kau benara-benar menutup rapat rahasia itu dariku,
kau menikmatinya sendiri. di kota tempat kau melanjutkan kuliahmu.
Lalu, apa aku masih bisa menyayangimu,
mencintaimu bahkan memperayaimu?
Mungkin ini cobaan terberat selama
beberapa tahun kita bersama. Aku yang salah aku yang terlalu membesarkan egoku.
Lalu mengapa kau tidak bisa bersabar
sedikit, menugguku beberapa bulan lalu kita akan kembali menatap senja bersama.
Ah, kau memang tidak bersabar, lalu
dengan terburu-burunya kau meneriakkan kata di depanku “aku menyukainya! Ya aku
menyukai tentangnya! Dan aku mau hubungan kita sampai disini saja”
Lantas, aku bisa apa? Kau menyukainya,
menyukai masa lalumu. siapa yang bodoh, akukah atau kau?.
“jaga
mata, jaga hati ya” kata ini kembali merasuk setiap tulang rusukku
saat itu. Ah, Ternyata aku menjaganya
sendiri. kau tidak menjaga hatimu, kau membiarkannya melalang buana bersama
sosok masa lalumu itu.
Apakah aku juga punya masalalu? Siapa
masalaluku? aku mengingat beberapa sosok yang juga pernah mengisi masalaluku
dan aku tidak pernah memikirikannya, lalu kenapa kau memikirkannya dan bahkan
menyukainya?
“karna
kamu egois Del, karna kamu nggak mau di kasih tau, karna sikapmu yang keras
Del, semua karna kamu Adelia, karna kamu !!”
Aku
membeku, air mata ini sudah seperti jutaan kerikil yang mengalir keluar dari
mataku. Perih.
Ya, kata
itu yang dia bentakkan kepadaku di tengah ke terpurukanku saat itu. Ia bukan
lagi seperti sosok pangeran yang aku impikan dulu, tetapi lebih mirip seperti
Banteng yang siap menerjang apapun di depannya. Aku membeku, menunduk meratapi
kisahku sendiri.
Mungkin ini akhirnya, bahkan lebih
buruk dari cerita Little Mermaid.
Aku
sekarang belajar hidup tanpamu, belajar untuk tidak selalu bergantung apapun
denganmu, ah ya selamat datang masalalu yang terselip di antara kami. Selamat
membela diri, aku mungkin menyalahkan kemurahan dirimu, tapi kau bisa menyalahkanku,
menyalahkan keegoisanku yang nggak pernah aku runtuhkan selama beberapa lama aku menjalin hubungan dengan teman kecilmu
itu.
Aku
menciut, saat aku melihatnya. Oh wajar saja jika pangeranku menyukaimu, kau
cantik masalalu, kau dewasa, kau bahkan mengerti apapun. Tidak sepertiku, yang
jelas sudah aku egois, seperti anak-anak, dan kadang memaksa setiap kehendakku
sendiri.
Baik,
sesuai kemauanmu pangeran aku berkaca,
berkaca dengan sikapku selama ini. Tapi tidak adilkan kalau kau tidak berkaca,
atau kau juga akan memelihara egomu? Apa kau siap tergantikan dengan sosok yang
selalu memberikanku sebatang coklat, sosok yang jauh lebih dewasa darimu? Sosok
yang siap aku jadikan sandaran saat aku terpuruk seperti ini?
Pangeran,
apakah kau tidak ingin tau kapan dan darimana sosok ini muncul?
Dia bukan
masalaluku pangeran, dia sosok yang selalu mengawasi setiap detik nafasku, dia
melindungi secara tidak langsung, dia tau semua beban berat yang ada di
pundakku, ya beban berat yang setiap hari kau tumpuk di atas pundakku bersama
sosok masalalumu itu pangeran.
Tidak, dia
bukan pangeranku, pangeranku itu hanya kamu. Miris sekali bukan, saat kau
menghujam hatiku seperti ini, aku masih saja menganggapmu pangeranku.
Sosok ini
yang mengajariku menjadi seorang perempuan yang kuat, sosok ini yang
mengajariku bagaimana caranya menyusun kembali kepingan-kepingan puzzle
kepercayaan yang kau hancurkan sendiri. sosok ini pula yang mengajariku
bagaimana memaafkanmu.
Aku banyak
menghabiskan waktu dengannya, aku mulai menyukai caranya, caranya
memperlakukanku. Caranya mengerti isi hatiku, ah semuanya. Dia seperti bisa
melihat apapun yang ada di hatiku secara transparan. Sosok laki laki ini memang
tidak lebih baik darimu pangeran. Dan aku, aku berusaha keras menampik perasaan
sukaku terhadapnya. Aku tau ini adalah ajang pelarianku saja, ajang penghilang
streesku atas semua beban yang kau tumpuk di pundakku pangeran. Dan laki-laki
ini dengan sabarnya mengambil semua bebanku satu persatu lalu mebakanya hingga
menjadi abu.
“aku juga
punya cerita sama sepertimu Del, cerita ini yang membuatku seperti sekarang
ini, trauma menjalin hubungan dengan wanita manapun”
“hah,
trauma menjalin hubungan ya, apa nantinya aku akan sepertimu, mengalami trauma
yang persis denganmu?”
“nggak
Del, selama kau percaya bahwa pangeranmu itu mencintaimu”
“apa aku
masih bisa percaya dengannya? Aku bahkan nyaris mati rasa”
Mataku
mulai basah saat kalimat yang selama ini aku tahan akhirnya keluar. Mati rasa.
“apa kau
masih mau menyusun kepercayaan itu? Aku tau ini sulit, tapi aku lihat binar
matamu itu aku yakin kau mampu Adelia”.
“aku
mampu? Apa kau buta, untuk bernafas saja rasanya aku sudah tidak merasaknnya
lagi”
Emosiku
naik seketika, membentaknya. Ya aku membentak sosok penyabar yang ada di
depanku. Tapi laki-laki ini hanya tersenyum.
“Kau tau,
ini lah yang pangeranmu itu tidak suka dari kamu. Kelabilanmu,
kekanak-kanakanmu, kemarahanmu. Semua laki-laki tidak menyukai sikap yang
seperti Del”
Aku
terdiam, menunduk karna malu dengan apa yang baru saja aku lontarkan di
depannya. Ku serapi setiap kalimat-kalimatnya.
“Lalu aku
harus bagaimana? Sulit untuk merubahnya. Tidak ada yang membantuku, bahkan
pangeranku saja nggak mau membantuku”
Aku
terisak, isakanku kali ini agak nyaring. Inilah yang harusnya aku keluarkan
sejak tadi, isakan yang sedikit membuatku lega. Walaupun aku tau laki-laki yang
di sampingku kini bukan pangeranku, melainkan sosok dewasa dan penyabar ini.
“Aku akan
membantumu Del, tapi kau harus punya tekad untuk merubahnya, memperbaikinya dari
awal. Apa kau sanggup?”
Aku mengangguk pelan, masih dengan
muka tetutup tangan.
Apakah
laki-laki ini akan menjadi penggantimu pangeran? Aku merasa nyaman di
sampingnya, aku bahkan bisa melupakanmu sejenak saat berada di sampingnya.
Seandainya saja kau sepertinya. Ah khayalanku terlalu tinggi rupanya karna
realitanya kau adalah pangeran yang berhasil menghancurkan semua puzzle yang
aku susun sendiri.
Aku tidak
lagi berusaha menampik perasaanku terhadapnya. Biarkan mengalir. Aku
menikmatinya.
Apa aku benar-benar
menyukainya? Apa aku bisa menyebut bahwa kau jatuh cinta kepadanya?
Setiap
batang cokelat yang dia berikan semakin membuatku tidak meengerti, lalu
pangeran kau sedang apa? Ah, mungkin saja kau sibuk memupuk rasa sukamu agar
nanti menjadi sayang yang tidak terhingga pada perempuan murahan di masalalumu
itu. Oh menebus kesalahan, saat kau meninggalkannya sendiri ke kota kembang ini
saat kau masih duduk di bangku kelas tiga SD rupanya. Aku mencacimu dalam hati.
Ah,
percuma saja toh kau tidak akan mendengarnya kan. Hah lebih baik seperti ini.
Aku meraih
ponselku saat aku tau ada pesan singkat yang masuk
“Adel,
maafkan aku”
Kembali aku di hujani dengan beribu
ribu pesan darimu, isinya selalu sama. Format tulisannya juga sama persis.
Apa kau
telah menyiapkan sms ini lalu menyimpannya di draft sentmu agar setiap detik,
menit, jam bahkan hari kau bebas mengirimnya semaumu.
Dan aku sendiri mungkin telah mati
rasa kepadamu.
Ah ya biarkan saja, sosok dewasa ini
yang sekarang menggantikanmu.
Aku menikmati
hari-hari bersama sosok dewasa ini, Ray. Aku mulai mengenalnya lebih dalam.
Bukan, bukan karna kami sepasang kekasih yang baru saja menjalin hubungan,
karna dia yang mengenalkan dirinya jauh lebih dalam kepadaku.
“jika ada
seseorang yang jauh lebih baik dari pangeranmu, apakah kau mau membuka hati
untuk laki-laki tersebut?”
Aku
terpaku, apakah Ray menyatakan perasaannya kepadaku?. Aku kembali menangis.
“kenapa
kau tanya itu? aku masih belum yakin dengan perasaanku saat ini”
“sudahlah
jangan di fikirkan kalimatku tadi, aku hanya berandai kan?”
Sore itu
aku menyaksikan senja bersamanya, bukan bersama pangeranku lagi.
***
Pangeran,
jika aku bisa langsung meminta pada Tuhan aku tak ingin perkenalan kita
terjadi. Aku tak ingin mendengar suaramu ketika menyebut nama. Aku tak ingin
membaca pesan singkatmu yang lugu tapi manis itu. Sungguh, aku tak ingin segala
hal manis itu terjadi jika pada akhirnya kau menghempaskanku sekeji ini.
Kalau kau
ingin tau bagaimana perasaanu, beribu kosakata tidak akan memmpu
mendeskripsikannya. Perasaan bukanlah susunan kata dan kalimat yang bisa di
jelaskan dengan definisi dan arti, perasaan itu dalam bahkan lebih dalam dari
samudra yang kau tahu.
Kadang aku
mengira tugasku untuk mencintaimu telah selesai dan aku sangat siap jika
masalalumu akan menggantikan tugasku.
Selamat,
kamu mendapkan gadis yang seperti bidadari. Teman kecilmu sendiri.
Sudah
tidak ada gunanya mungkin jika aku terus-terusan menangisi kisahku sendiri.
Yang ada
di hadapanku saat ini hanya sesosok dewasa Ray. Lalu apa perasaannya kepadaku
melebihi seorang teman? Ah aku tidak meminta yang lebih dari itu.
Dan
sekarang nafasku dan seluruh relungku hanya terisi dengan sosok dewasa itu. Dan
aku membiarkannya.
“Bagaimana
dengan perasaanmu sekarang Del?”
“Aku
merasakan hal yang aneh, lebih ringan”
“Apa kamu
bisa memaafkannya?”
“aku belum
bertemu dengannya Ray, jadi manabisa aku menjawab apakah aku bisa memaafkan
atau belum”
“Jika
pangeranmu ingin bertemu, apa kau mau menemuinya?”
Mataku memanas mendengar pertanyaan
itu.
“Hahaha,
nggak mungkin, dia kan sudah senang dengan perempuan dari masalalunya”
“Kamu
nggak percaya aku?” ekspresinya tiba-tiba berubah.
“entahlah”
***
Ini adalah pelajaran berharga dari
Ray, saat aku benar-benar terpuruk dan aku harus menerimanya, suka tidak suka,
mau tidak mau. Memaafkan, bersabar dan terlebih lagi belajar menjadi bidadari
yang di kagumi oleh semua orang termasuk sang….
Hempasan
yang begitu menyakitkan dulu kini hampir hilang, lukanya juga telah mengering.
Dan malam ini adalah malam dimana seharusnya hubunganku dengan sang pangeran
genap tiga tahun.
Malam ini
bahkan terasa lebih ringan dari sebelumnya. Karna aku berhasil, berhasil
membakar sosok masalalumu itu hidup-hidup hingga menjadi abu dan lenyap bersama
hujan.
Aku tersenyum
tipis, iya sekarang aku belajar bagaimana untuk menjadi sosok perempuan seperti
bidadari yang bahkan membuat Ray sendiri mengagumiku, bukan hanya Ray saja tapi
semua pria pria yang mungkin ingin memberikan cintanya yang tulus kepadaku.
Dan sesuai
janji Ray, bahwa pangeranku akan datang malam ini. Aku sendiri tidak tahu
menahu apakah mereka saling berhubungan merencanakan hal ini atau hanya tebakan
Ray yang asal-asalan.
Rasanya seperti
kembali hidup, saat pangeran itu membawakanku setangkai mawar putih yang aku
suka. Ah ya ini pertama kalinya selama hubungan kita. Lalu kau kembali menyatakan
cintamu kepadaku.
“maafkan aku ya Del, selama ini nggak bisa
jadi yang terbaik untukmu, mau kah kamu menerimaku dan memberi satu kesempatan
lagi?”
Aku tidak
menjawabnya, melainkan berlari kepelukannya saat itu juga.
Ah, aku
menyukainya, aku bahkan melupakan semua masalah kita malam itu, semuanya indah.
Tuhan adil. Dan aku percaya Tuhan telah mendengar semua doaku. Tuhan memberi imbalan
atas semua kesabaranku ini. Dan Egoku ah dia telah terkubur bersama bangkai
masalalu itu dan lenyap bersama hujan.