Halaman

Rabu, 28 Agustus 2013

Seperti harapan itu dulunya tidak ada


Haruskah kita menyalahkan nurani kita yang telah menghempaskan nafas kegelisahan untuk setiap ketidak 
acuhan yang telah terpendam sekian lama?

Nurani adalah diri kita. Kita tidak dapat berdusta dan membohongi diri sendiri. biarkan ia mengalir dan mengalir, berkelok dan menyimpan keteduhannya. Keteduhan yang melelapkan, sampai ia tiada.

Mungkin lebih baik dengan melenyapkannya. Saling membenci dengan mengingkari nurani kita. Apakah aku terlambat? Ini memang tampak lebih baik. Kita mengakhirinya. Biarlah ia hilang dalam kesenyapan masa dengan sendirinya. 
Seperti harapan itu dulunya tidak ada!

Rabu, 21 Agustus 2013

Berjuta Rasanya - Tere Liye

Kakek, apakah cinta itu memberi, seperti yang selalu Kakek lakukan saat memberi makan ayam - ayam?"

"Tidak. Karena kau selalu bisa memberi tanpa sedikitpun memiliki perasaan cinta, tetapi kau takkan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi.

Kakek, apakah cinta itu seperti musik?"

"Ya. Ia seperti musik, tetapi cinta sejati akan membuatmu selalu menari meskipun musiknya telah lama berhenti.

Kakek, dari kota manakah cinta datang?"

"Tidak ada yang tahu, Sayang. Cinta sejati datang begitu saja, tanpa satu alasan apapun yang jelas!

Kakek apakah cinta sesejuk air sungai ini?"

"Ya. Cinta sejati memang seperti air sungai, sejuk menyenangkan, dan terus mengalir. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti. Semakin lama semakin besar karena semakin lama semakin banyak anak sungai yang bertemu. Begitu juga cinta, semakin lama mengalir semakin besar batang perasaannya."

"Kalau begitu ujung sungai ini pasti ujung cinta itu?"

"Cinta sejati adalah perjalanan, Sayang. Cinta sejati tak pernah memiliki tujuan.

..Kakeknya berbohong. Cinta tidak seperti air sungai, sejuk, dan menyenangkan. Baginya, sekarang cinta lebih sepert moncong meriam. Sesaat lalu melontarkannya tinggi sekali hingga ke atas awan, tetapi sekejap kemudian menghujamkannya dalam - dalam ke perut bumi.

Selasa, 13 Agustus 2013

Untuk Ria Marhayati

Untukmu sahabat kecilku, saudaraku dan juga tetanggaku. Ria Marhayati

Aku tahu mungkin kamu nggak tahu kalau aku punya blog. Tempat aku nulis semua yg ada di hatiku, lama aku menulis tapi baru kali ini aku tuang tentang kamu.
Rumah kita hanya beberapa meter hampir menyatu tapi masih ada ruang yang agak luar di  ujung dapur kita.
Masih ingat dengan jelas waktu kita masih sama-sama balita, TK,SD, SMP. Kita hanya berdua. Main berdua, makan berdua, turun sekolah berdua, jalan berdua.
Jarak di antara kita mulai tercipta saat kita pisah SMA. Aku milih masuk SMA Negeri dan kamu memilih masuk sekolah kejuruan.

Disini kamu mulai mengenal dunia luar. Intensitas main kita semakin berkurang sedikit demi sedikit dan akhirnya dalam 1 tahun pun bisa di hitung berapa kali kita bertemu. Hanya sekedar menyapa, say hello lalu semua berlalu. Seperti baru kenal dan baru bertemu. Canggung
Aku bahkan melihatmu seperti orang asing bagiku, semua berubah semakin asing.
Tidak ada lagi ketawa terbahak-bahak hingga seluruh RT mendengar, tidak ada lagi curhatan tentang blahblahblah yang tidak penting tapi bagi kita itu penting. Tidak ada lagi belajar bareng. Tidak ada lagi smsan dengan cowok yang sama. Tidak ada lagi menguntit anak sekolah sebelah bersama. Tidak ada lagi belanja bersama. Tidak ada lagi pulang bimbel bersama dimana kamu rela nunggu 2 jam demi nunggu aku yang masih ada jam bimbel padahal kamu sudah selesai. Tidak ada lagi tetek bengek ini itu yang melibatkan kita berdua.

Bahkan saat suatu kecelakaan yang membuat gips tertanam rapih di tanganmu aku masih merasa asing. Merasa asing di depanmu. Kamu masih sahabat kecilku kan?
Aku akui aku seperti merasa perlahan tersingkir dengan ratusan bahkan ribuan teman-temanmu di luar sana. Dan aku masih sama. Anak rumahan yang nggak boleh keluar malam.
We had 1000 memories ya’. Bahkan lebih
Aku harap kita bisa main bareng lagi walaupun nggak se intens dulu


 ***
Hei bocah berkepang dua. Aku rindu kamu
Bertemu seperti baru kenal. padahal disini, di hati ini ada rindu yang benar-benar dalam.
Bolehkah aku memaki waktu?
Waktu saat kita mulai terpisah.
Atau memaki orang-orang yang merebutmu dariku?
Orang-orang yang membuat aku mulai tersingkir bahkan hilang dari pandanganmu.
Membuat aku seperti bayangan hitam yang tidak perlu di cari.
Aku berusaha mencari penggantimu, tapi hati ini menolaknya.

Hingga aku terbiasa memendam. Berteman dengan sepi juga malam. 

Minggu, 11 Agustus 2013

aku merindumu



Kau selalu mengajariku merindu.
Merindumu seperti pungguk.
Kedinginan dalam malam menunggumu seorang diri.
Aku tidak seperti perindu yang lain.
Aku hanya merindumu sendiri, kamu bahkan berhasil menyumbat setiap celah hati agar aku tidak merindukan yang lain. Hanya kamu.
Disini aku masih setia, merindumu bersama bulir-bulir bening yang mengalir dari mataku.
Mengais semua kenangan yang masih kuat di memoriku.
Aku telah lama berteman dengan tangis dan sepi. Terbiasa.
Pergimu bahkan membuat aku semakin akrab dengan tangis dan juga sepi.
Tidak tahu kapan akan berakhir.

Aku masih disetia, merindumu seoarng diri…